Cerita Rakyat di Desa Budaya Giring “Dhumadine Gunung Bagus” Versi Suwondo

saptopranowo 15 April 2020 15:32:51 WIB

Desa Budaya Giring adalah desa budaya yang memilki kekayaan potensi budaya sangat banyak. Salah satunya adalah cerita rakyat tentang terjadinya gunung bagus. Gunung bagus adalah tempat wisata alam sekaligus wisata ritual budaya di Desa Giring. Tempat tersebut sangat viral sejak tahun 2018 silam. Cerita rakyat terjadinya gunung bagus di Desa Giring ada beberpa versi. Disini akan disampaikan versi yang ada di Desa Giring menurut buku yang ditulis oleh ( Suwondo, Bambang, 1981, dalam buku Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta ) : Departemen Pendidikan dan Kebudayaan) :

“Pada masa Mataram diperintah oleh Gusti Sultan Agung, negeri Mataram terbagi atas beberapa daerah. Masing-masing daerah itu diketuai oleh seorang “rangga” atau penguasa daerah. Salah satu diantara daerah itu ialah daerah Blimbing, dan ketuanya disebut Rangga Blimbing.

Sudah menjadi tradisi di negeri Mataram bahwa pada saat-saat tertentu secara rutin mengadakan “pisowanan pasok bulu bekti”, yaitu persembahan semacam upeti kepada raja sebagai tanda takluk. Pada kesempatan ini semua rangga yang ada di wilayah Mataram harus hadir. Jika berhalangan, harus memberi kabar. Apabila ada yang tidak hadir tanpa memberi kabar sama sekali, maka pihak keraton lalu mengirimkan utusan untuk menyelidiki, karena dikhawatirkan kalau rangga tersebut mulai membangkang, atau memberontak.

 

Rangga Blimbing adalah seorang rangga yang setia terhadap Gusti Sultan Agung. Ia tidak pernah absen mendatangi pisowanan. Bahkan tidak jarang ia membawa anak laki-lakinya yang bernama Jaya Ketok ke pisowanan. Jaya Ketok adalah seorang pemuda yang berperawakan gagah dan berwajah tampan, cerdas, serta tingkah lakunya menarik. Setiap kali ikut ayahnya menghadiri pisowanan, Jaya Ketok selalu bertemu dengan Gusti Rara Pembayun, salah seorang puteri Gusti Sultan Agung. Puteri ini parasnya sangat cantik.

Karena sering bertemu, maka antara Jaya Ketok dengan Gusti Rara Pembayun lalu merasa saling tertarik yang selanjutnya berkembang menjadi saling satuh cinta. Sejak saat itu Jaya Ketok secara sembunyi-sembunyi sering mengadakan pertemuan dengan Gusti Rara Pembayun.

Hubungan antara kedua orang ini akhirnya diketahui oleh seorang abdi, yang kemudian menyampaikan kepada Gusti Sultan Agung. Mula-mula Sultan Agung sangat terkejut begitu mendengar kabar tersebut. Dalam hati beliau bertekad tidak akan membiarkan hubungan ini berlangsung terus. Menurut pertimbangan beliau apabila hubungan ini tidak segera diputuskan akan menjatuhkan martabatnya, sebab Gusti Rara Pembayun adalah puteri seorang Raja besar, sedangkan Jaya Ketok hanyalah anak seorang rangga. Jadi sama sekali tidak seimbang. Meskipun dalam hati Gusti Sultan Agung juga mengakui bahwa Jaya Ketok adalah pemuda pilihan.

Gusti Sultan Agung ingin menyelesaikan persoalan ini dengan cara bijaksana. Dipanggilnya Rangga Blimbing, Jaya Ketok dan Gusti Rara Pembayun. Setelah ketiganya menghadap lalu dinasehati agar mereka menyadari kedudukan masing-masing, dan jangan sampai hubungan ini diteruskan. Dan kepada Rangga Blimbing, Sang Prabu berpesan agar memberi pengertian kepada anaknya.

Rangga Blimbing bisa menerima nasihat Gusti Sultan Agung dengan hati lapang. Tetapi bagi Jaya Ketok dan Gusti Rara Pembayuan, nasihat Sang Prabu ini hanya pura-pura disanggupi. Secara sembunyi-sembunyi mereka tetap mengadakan pertemuan. Hal ini diketahui dan dilaporkan lagi oleh seorang abdi dalem kepada Gusti Sultan Agung. Begitu menerima laporan, Gusti Sultan Agung menjadi sangat murka. Dianggapnya Rangga Blimbing tidak mau menyadarkan anaknya. Akhirnya ia mengutus prajuritnya untuk membunuh Rangga Blimbing.

Rupanya Rangga Blimbing sudah mendengar bahwa daerahnya akan diserang, sehingga sementara prajurit Mataram dalam perjalanan ke Blimbing, pihak Blimbing telah menyiapkan pasukannya. Ketika prajurit Mataram datang, terus mereka hadapi. Ternyata ketahanan prajurit Blimbing cukup kuat. Pihak mataram menjadi kewalahan. Akhirnya pihak Blimbing berhasil mendesak mundur lawannya sehingga dengan kekuatan yang masih tersisa prajurit Mataram kembali ke keraton.

Masa itu sudah banyak Belanda yang berdiam di negeri Mataram. Dengan tidak berpikir panjang Gusti Sultan Agung lalu minta bantuan kepada Belanda. Maka diserbulah daerah Blimbing untuk kedua kalinya. Kali ini prajurit Mataram yang disertai pasukan Belanda itu lebih unggul peperangannya. Akhirnya pasukan Blimbing terdesak. Sedang Jaya Ketok dapat ditangkap dan dibunuh di sebuah telaga yang terletak dekat Desa Blimbing.

 

Dengan terbunuhnya Jaya Ketok bukan berarti keamanan negeri Mataram telah pulih kembali, sebab lalu menyusul peperangan lain yang lebih besar. Kali ini peperangan antara Mataram dengan Belanda.

Adapun penyebab dari peperangan kedua ini, dari pihak belanda merasa telah berjasa dan mereka menuntut Gusti Sultan Agung agar menyerahkan Gusti Rara Pembayun kepada seorang perwira Belanda untuk dijadikan isterinya. Sultan Agung bersedia memenuhi permintaan itu, asalkan Gusti Rara Pembayun mau. Ternyata Gusti Rara Pembayun tidak bersedia diambil isteri oleh perwira Belanda itu.

Perwira Belanda itu sangat marah ketika mendapat kabar bahwa Gusti Rara Pembayun tidak bersedia menjadi isterinya. Ia lalu menuduh Sultan Agung telah mempengaruhi puterinya agar menolak lamarannya. Tuduhan ini membuat Sultan Agung sangat marah, karena merasa dihina sehingga beliau lalu mengambil keputusan menentang Belanda.

Tidak lama kemudian terjadilah peperangan antara prajurit Mataram melawan Belanda. Peperangan ini cukup ramai, karena masing-masing pihak berusaha mengalahkan lawannya. Tetapi karena perlengkapan perang Belanda lebih modern, maka sedikit demi sedikit prajurit Mataram mulai terdesak. Akhirnya prajurit Mataram sudah tidak dapat bertahan lagi.

Untuk menyelamatkan diri Sultan Agung terpaksa meninggalkan keraton. Perjalanan Sultan Agung disertai oleh permaisuri dan beberapa orang pengawal. Pengembaraan Sultan Agung baru berhenti setelah sampai di Desa Kedunglumbu, daerah Surakarta. Dengan demikian untuk sementara pemerintahan di Keraton Mataram mengalami kekosongan karena ditinggal mengungsi.

Di Desa Kedunglumbu tempat Sultan Agung mengungsi berdiamlah seorang gadis anak seorang janda miskin. Meskipun gadis ini hanya keturunan orang kebanyakan dan tinggalnya di desa, tetapi ia mempunyai kelebihan dari gadis-gadis desa yang lain, yaitu wajahnya sangat cantik serta tingkah lakunya sangat menarik. Ketika Gusti Sultan Agung melihat gadis itu beliau lalu tertarik. Selanjutnya gadis tadi dijadikan salah seorang selirnya.

Dari perkawinan antara Sultan Agung dengan perempuan Desa Kedunglumbu itu lahirlah seorang anak laki-laki yang tampan, dinamakan Jaka Bagus. Tidak lama setelah Jaka Bagus lahir, maka permaisuri Gusti Sultan Agung yang ikut mengungsi juga melahirkan seorang anak laki-laki, namanya Jaka Trenggana. Jaka Bagus dan Jaka Trenggana yang besarnya hampir sebaya itu dididik bersama di Desa Kedunglumbu. Keduanya dapat rukun seperti halnya dua orang bersaudara kandung.

Pada suatu hari Jaka Bagus secara tiba-tiba terserang penyakit cacar. Oleh Gusti Sultan Agung ia lalu dibawa ke Desa Giring daerah Gunung Kidul, maksudnya akan dititipkan kepada Ki Ageng Wonoboyo Giring. Bersama Jaka Bagus disertakan pula seorang emban (pengasuh) dan seorang abdi laki. Waktu menyerahkan kepada Ki Ageng Wonoboyo, Sultan Agung bersabda: “Ki Ageng Wonoboyo, saya titip anak saya untuk dirawat dari sakitnya. Apabila anak saya ini dapat sehat kembali maka saya serahkan kepada Ki Ageng untuk mengasuhnya. Tetapi apabila tidak dapat sembuh saya harap Ki Ageng mau menguburnya di sebuah puncak bukit yang tinggi, dan tingginya harus melebihi puncak bukit makan kedua orang abdinya kelak.”

 

“sendika”, demikian jawab Ki Ageng Wonoboyo. Setelah penyerahan itu selesai Gusti Sultan Agung lalu kembali lagi ke tempat pengungsiannya di Desa Kedunglumbu. Setelah Sultan Agung meninggalkan Giring, maka Ki Ageng Wonoboyo lalu berusaha dengan berbagai cara merawat penyakit Jaka Bagus. Namun segala usaha itu tidak berhasil, akhirnya Jaka Bagus meninggal. Sesuai dengan pesan Gusti Sultan Agung, maka jenazah Jaka Bagus lalu dimakamkan di sebuah puncak bukit yang tinggi, yang tingginya melebihi puncak bukit di sekitarnya. Bukit itu terletak di sebelah selatan Desa Giring.

Setelah pekerjaan memakamkan Jaka Bagus itu selesai, Ki Ageng Wonoboyo lalu menghadap Gusti Sultan Agung melaporkan, bahwa usahanya merawat Jaka Bagus tidak berhasil. Di hadapan Gusti Sultan Agung, Ki Ageng Wonoboyo menyatakan: “Ampun Gusti, ternyata hamba tidak berhasil menjalankan titah paduka, sehingga putera paduka wafat. Jenazahnya telah hamba makamkan, di sebuah puncak bukit yang tinggi”.

 

Gusti Sultan Agung lalu menjawab, “Sudahlah Ki Ageng, jangan terlalu bersedih. Rupanya memang sudah kodratnya Jaka Baus tidak berumur panjang. Lagi pula apabila Jaka Bagus dapat sembuh mungkin kelak akan menyebabkan terjadinya keributan di Mataram, sebab bukan dia yang akan saya angkat menjadi penggantiku, tetapi puteraku Trenggana.”

Selanjutnya bukit tempat memakamkan Jaka Bagus ini lalu dinamakan Gunung Bagus. Sedang kedua orang abdi yang menyertai Jaka Bagus dari Kedunglumbu lalu menetap di Giring. Dan setelah meninggal dimakamkan di dekat Giring pula, tetapi tempatnya dipilih yang lebih rendah dari Gunung Bagus.

Makam Gunung Bagus ini terkenal sangat angker. Kabarnya apabila ada burung yang terbang di atasnya akan jatuh dan mati. Dan jika ada binatang yang mendaki bukit tersebut pasti akan hilang.”

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar