CERITA RAKYAT TERJADINYA KALI GOWANG DI DESA BUDAYA GIRING VERSI SUWONDO

saptopranowo 25 April 2020 14:15:11 WIB

Kali Gowang adalah kali yang ada di Desa Giring. Kali Gowang memiliki beberapa cerita rakyat saat terjadinya kali tersebu. Dari cerita – cerita rakyat yang ada, menceritakan dengan sangat menarik. Salah satunya adalah cerita rakyat yang diutarakan oleh ( Suwondo, Bambang, 1981, dalam buku Cerita Rakyat Daerah Istimewa Yogyakarta. Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ) dalam cerita tentang sang Jaka Umbaran :

 “Joko Umbaran adalah anak dari Danang Sutawijaya dan Rara Rembayung. Ayahnya, Danang Sutawijaya, adalah seorang raja Mataram dengan gelar Kanjeng Panembahan Senopati. Sedangkan ibunya, Rara Rembayung, hanyalah seorang rakyat biasa yang dijadikan selir oleh raja Mataram. Karena hanya berkedudukan sebagai seorang selir, maka Rara Rembayung tinggal di luar benteng istana.

Semenjak lahir hingga usianya menginjak dewasa Joko Umbaran sama sekali belum pernah berjumpa dengan ayah kandungnya. Hal ini memang disengaja sebab Rara Rembayung telah berjanji pada Panembahan Senopati bahwa ia tidak akan memberitahukan kepada Joko Umbaran siapa ayah kandungnya. Dan, apabila janji itu dilanggar, maka ia bersedia untuk menyerahkan nyawa sebagai gantinya.

Namun suatu ketika, entah karena apa, tiba-tiba Joko Umbaran datang kepadanya dan menanyakan mengenai siapa ayah kandungnya. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Rara Rembayung hanya dengan perkataan bahwa kelak apabila telah tiba waktunya, maka Joko Umbaran akan mengetahuinya sendiri. Jawaban Rara Rembayung itu ternyata malah membuat Joko Umbaran semakin penasaran. Setiap hari ia selalu menanyakan pertanyaan yang sama pada ibunya, hingga akhirnya Rara Rembayung merasa kewalahan dan berkata terus terang, “Ngger, aku bersedia untuk mengatakan siapa dan dimana ayahmu sekarang berada. Namun, janganlah engkau berusaha untuk mencari dan menemuinya.”

“Baiklah ibu,” jawab Joko Umbaran dengan tidak sabar.

“Ketahuilah anakku bahwa sebenarnya kanjeng ramamu adalah Danang Sutawijaya yang sekarang telah menjadi raja Mataram dengan gelar Kanjeng Panembahan Senopati.”

“Oh, jadi Kanjeng Panembahan Senopati itu ramandaku. Kenapa selama ini ibu selalu merahasiakannya?” tanya Joko Umbaran.

“Karena ibumu hanyalah seorang yang berasal dari gunung, sedangkan ramandamu adalah ‘Radu Adil Agung Binathara’”, Jawab Rara Rembayung.

“Aku harus bertemu dengannya ibu,” kata Joko Umbaran.

“Jangan anakku. Ibu sudah berjanji pada ramandamu untuk tidak akan menceritakan hal ini kepadamu,” Jawab Rara Rembayung.

“Dia adalah ayahku dan aku berhak untuk bertemu dengannya”, kata Joko Umbaran lagi.

Setelah berusaha menenangkan hatinya beberapa saat, akhirnya Rara Rembayung pun berkata, “Baiklah, kalau keinginanmu itu tidak dapat dicegah lagi aku akan membekali engkau dengan pusaka ligan sebagai bukti bahwa kau adalah puteranya. Pusaka itu dahulu adalah milik dari dimas Senopati yang diberikan kepadaku.”

Setelah berkata demikian, Rara Rembayung lalu masuk ke dalam kamarnya untuk mengambil pusaka ligan tersebut. Ujud pusaka yang dinamakan ligan itu adalah berupa sebilah keris namun tanpa sarung. Ligan itu lalu diberikan kepada Joko Umbaran sebagai bekal untuk bertemu dengan Kanjeng Panembahan Senopati.

Singkat cerita, keesokan harinya Joko Umbaran berangkat menuju Kota Mataram. Selama dalam perjalanan tidak sedikit rintangan yang harus dihadapi, namun karena Joko Umbaran adalah seorang pemuda yang ulet dan tidak kenal putus asa, maka akhir ia sampai juga di Keraton Mataram. Sesampainya di depan regol istana ia langsung bertanya kepada salah seorang penjaga di sana, “Bolehkah saya menghadap Kanjeng Panembahan Senopati?”

“Lah, siapa kamu?” tanya si penjaga yang merasa heran karena ada seorang anak muda yang masih bau kencur berani datang untuk menghadap raja.

“Ya sudah kalau tidak boleh menghadap. Namun, tolong haturkan pada Raja bahwa ada seseorang yang datang dari Desa Giring bernama Joko Umbaran, putera dari Rara Rembayung.”

Karena si penjaga merasa kasihan terhadap Joko Umbaran yang telah datang dari desa yang jauh, maka sang penjaga pun berkata, “Baiklah. Engkau tunggu di sini saja. Aku akan menghadap Raja untuk menyampaikan permintaanmu itu.”

Beberapa saat kemudian, penjaga itu datang lagi dan berkata, “Kanjeng Panembahan Senopati berkenan untuk menerimamu. Sekarang ikutlah denganku untuk menghadap di pesowanan.”

Ketika Joko Umbaran telah menghadap di pesowanan, maka bertanyalah Panembahan Senopati, “Joko Umbaran, siapakah yang menyuruh kamu hingga berani menghadap ke sini?”

“Tidak ada Paduka Raja. Saya ke sini atas kemauan sendiri,” jawab Joko Umbaran singkat.

“Baiklah kalau begitu. Sekarang engkau kembali ke Giring dan katakan pada ibumu bahwa aku akan mengakuimu sebagai puteraku apabila ibumu bersedia memenuhi janjinya dahulu. Apabila ia telah menempatkan pusaka ligan yang engkau bawa di pinggangmu itu ke wrangkanya (sarung keris) yang terbuat dari kayu purwasari, maka tidak hanya aku akui sebagai anak, melainkan engkau juga akan aku beri ganjaran,” sabda Panembahan Senopati.

“Baiklah Paduka Raja,” kata Joko Umbaran sambil meminta izin untuk pulang kembali ke Desa Giring.

Dalam perjalanan pulang itu hati Joko Umbaran sangat gembira, sebab yang diminta oleh Kanjeng Panembahan Senopati hanyalah untuk menempatkan ligan yang dibawanya ke wrangkanya. Pikirnya, pastilah sang ibu masih menyimpan wrangkanya. Ia tidak mengerti bahwa yang dimaksudkan oleh Kanjeng Panembahan Senopati untuk “menyarungkan ligan ke wrangkanya” adalah “menyarungkan” ligan itu ke tubuh Rara Rembayung, sesuai dengan janjinya dahulu bahwa ia bersedia mati apabila anaknya sampai tahu siapa bapaknya sebenarnya.

Sesampai di rumah ia disambut dengan gembira oleh Rara Rembayung. Dengan lemah lembu disapanya Joko Umbaran, “Ngger, bagaimana keadaanmu?”

“Atas doa restu Kanjeng Ibu, saya tidak medapat halangan apapun,” jawab Joko Umbaran.

“Syukurlah kalau begitu. Bagaimana tanggapan dimas Sutawijaya dan apa pesannya?”

“Kanjeng Panembahan Senopati menyuruh saya segera pulang kemari untuk menghadap Kanjeng ibu. Beliau berpesan agar Kanjeng ibu mau menyarungkan pusaka ligan ini ke wrangkanya yang terbuat dari kayu purwasari. Jika permintaan itu sudah ibu berikan barulah saya diakui sebagai puteranya dan akan diberi ganjaran.”

Rara Rembayung agak terkejut mendengar perkataan anaknya itu, namun tidak diperlihatkannya. Ia tahu bahwa maksud dari perkataan itu adalah Kanjeng Panembahan Senopati menghendakinya untuk bunuh diri karena telah memberitahukan jatidirinya kepada Joko Umbaran. Rara Rembayung lalu berkata, “Baiklah nak, esok bila hari sudah terang pusaka ligan akan kusarungkan ke wrangkanya.”

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Rara Rembayung pergi bersuci ke Sungai Kalinyamat. Dalam perjalanan menuju sungai wajahnya terlihat murung. Ia tidak menyangka kalau Kanjeng Panembahan Senopati masih mengingat akan janjinya dahulu. Perkataan kayu purwasari merupakan suatu perlambang. Kayu maksudnya kayun atau hidup, sedangkan purwasari adalah awal. Jadi, yang diminta adalah kematian dirinya. Dalam hati ia berkata, “Alangkah teganya Dimas Sutawijaya terhadapku. Namun apa boleh buat, mukti tohe pati (hidup enak tebusannya kematian).”

Ketika tengah berkata demikian, tiba-tiba ia melihat beberapa bagian tebing di Sungai Kalinyamat runtuh. Maka berkatalah lagi Rara Rembayung, “Nah, itulah saksinya. Baklah, mulai saat ini sungai ini aku beri nama Sungai Gowang. Kelak di sini akan dijadikan sebagai tempat ziarah dan barang siapa yang mandi di sungai ini akan mempunyai kelebihan.”

Selesai bersuci Rara Rembayung terus pulang lalu mengajak Joko Umbaran masuk ke dalam Hutan. Sesampai di tengah hutan Rara Rembayung berkata, “Joko Umbaran anakku, tolong dengarkan pesanku ini. Sebelum pusaka ligan kusarungkan, kupesankan kepadamu agar kelak apabila engkau telah diaku anak dan mendapat ganjaran dari Dimas Sutawijaya janganlah sampai engkau lupa pada kepunden ibumu.”

Karena mengira sang ibu akan segera menyarungkan pusakanya dan bukan untuk membunuh diri, maka Joko Umbaran pun segera menjawab, “Segala pesan ibu tidak akan ananda lupakan.”

“Baiklah. Sekarang jadilah saksi!” kata Rara Rembayung sambil mengangkat pusaka ligan dan menghujamkan ke dadanya sendiri. Seketika itu Joko Umbaran langsung menubruk ibunya dengan maksud hendak mencegah, namun sudah terlambat. Keris ligan sudah tertancap di dada Rara Rembayung sehingga ia tewas seketika. Rara Rembayung rela tewas demi memenuhi janjinya pada Kanjeng Panembahan Senopati.

Setelah melihat ibunya tewas, Joko Umbaran langsung memakamkannya di tempat itu juga, yang di kemudian hari dikenal dengan nama Sada. Kemudian ia langsung pulang dan menceriterakan semua kejadian yang dialaminya di tengah hutan kepada kakeknya, Ki Ageng Mangir.

Saat Joko Umbaran selesai bercerita, Ki Ageng Mangir pun berujar, “Cucuku, janganlah engkau sesali apa yang telah terjadi. Yang paling penting saat ini adalah bagaimana tindakanmu selanjutnya. Janganlah engkau menyia-nyiakan pengorbanan ibumu yang begitu besar. Sekarang pergilah ke Mataram dan jadilah anak yang berguna agar arwah ibumu tenang di alam sana.”

Singkat cerita, setelah menyiapkan perbekalan seadanya Joko Umbaran pun lalu berangkat ke Mataram. Dan sesuai dengan janjinya, Panembahan Senopati kemudian mengakuinya sebagai putera dan memberikan ganjaran berupa penganugerahan nama dan gelar baru, yaitu Pangeran Purbaya.

Beberapa tahun kemudian Joko Umbaran atau Pangeran Purbaya teringat lagi akan pesan ibunya untuk meluhurkan pepundennya. Maka bertepatan dengan hari Senin Kliwon Pangeran Purbaya bersama para pengawalnya berangkat ke Giring dengan maksud untuk memindahkan kerangka almarum ibunya. Setelah kerangka dimasukkan ke dalam peti, Pangeran Purbaya bersama rombongan lalu berjalan ke arah barat. Namun, ketika mereka sampai di Desa Badung tiba-tiba ada cahaya yang cepat bergerak dan akhirnya jatuh di depan Pangeran Purbaya. Oleh Pangeran Purbaya cahaya itu dianggap sebagai wahyu yang menandakan bahwa sang ibu harus dikuburkan di tempat jatuhnya cahaya.

Kerangka Rara Rembayung lalu dimakamkan tepat di tempat jatuhnya wahyu. Setelah itu Pangeran Purbaya berkata kepada para pengiringnya, “Gandheng papan kene ngemu rasa lan anggonku menggalihake wus suwe banget, ndak jenengke pasarean Wotgaleh. Besuk kanggo sejarah kawula kabeh.” (Oleh karena tempat ini mengandung makna rasa dan aku pun sudah lama memikirkan untuk meluhurkan pepunden ibuku, maka makam ini kuberi nama Wotgaleh. Kelak makam ini akan menjadi tempat ziarah orang banyak).

 

 

Belum ada komentar atas artikel ini, silakan tuliskan dalam formulir berikut ini

Formulir Penulisan Komentar

Nama
Alamat e-mail
Kode Keamanan
Komentar